Sejarah
hukum adat
1.1.
LATAR
BELAKANG
Hukum adat
adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada persaan keadilan rakyat
yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis,
senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum
(sanksi). Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis. Oleh karena itu,
dilihat dari perspektif ahli hukum yang memegang teguh kitab undang-undang, seorang
sarjana hukum yang berprespektif berdasar Kitab Undang-Undang, memang hukum
keseluruhannya di Indonesia di Indonesia ini tidak teratur dan tidak tegas.
Bagi seorang
ahli hukum asing yang baru mempelajari hokum adat pada umumnya tidak dapat
mengerti. Mereka tidak mengerti mengenai asal muasal peraturan hukum adat
tersebut. Akan tetapi apabila para ahli hukum asing tersebut bersedia
mempelajari hukum adat kita ini secara sungguh-sungguh, serta menjelajahi dan
meneliti hukum adat kita dengan rasio dan penuh perasaan. Maka mereka akan
mengetahui sumber hukum adat yang mengagumkan yaitu adat-istiadat yang hidup
dan terus berkembang dan berhubungan dengan tradisi kebiasaan rakyat.
Tetapi tidak
semua adat adalah hukum. Menurut Ter Haar untuk melihat apakah sesuatu adat
istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka kita wajib melihat sikap penguasa
masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap si pelanggar peraturan
adat-istiadat yang bersangkutan. Jika penguasa menjatuhkan hukuman pada si
pelanggar , maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat. Hukum adat
berurat-akar pada kebuyaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata. Karena hukum adat
menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata, untuk itu hukum adat
terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri
sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Peraturan hukum
adat yang terus berkembang inilah membuat hukum adat selalu mengakami
perunahan. Tiap peraturan hukum adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya
lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu berkembang
juga, akan tetapi kemudian akan lenyap dengan perubahan perasaan keadilanyang
hidup dalam hati nurani rakyat yang menimbulkan perubahan peraturan. Hal ini
berlaku secara terus menerus seperti yang diungkapkan Prof. Soepomo yang
condong pada pendapat Ter Haar di mana sikap petugas hukum haruslah bertindak
untuk mempertahankannya.
Oleh karena
sifat hukum adat yang tidak statis atau dengan kata lain fleksibel, maka di
dalam peraturan hukum adat perlu disepakati suatu penetapan agar menjadi hukum
positif. Hal ini sudah barang tentu bertujuan untuk mempertahankan eksisensinya
sekaligus menjadikan peraturan tersebut menjadi peraturan hukum yang tertulis
dan memiliki kekuatan hokum yang tetap.
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan
masalah dalam makalah adalah :
1.2.1 Bagaimana Sejarah perkembangan Hukum Adat di
Indonesia ?
1.2.2 Bagaimana sejarah
perkembangan Hukum Adat hingga di kenal dalam Ilmu
Pengetahuan
?
1.2.3 Bagaimana Sejarah Hukum Adat sebagai masalah
politik Hukum dalam perundang-
undangan di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HUKUM ADAT
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum
dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari
norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam
pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan adat
adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan
salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Hukum adat merupakan suatu istilah nyang diterjemahkan dari bahasa
Belanda. Pada mulanya hukum adat dinamakan “ adat recht ‘ oleh Snouck Hurgronje
dalam bukunya yang berjudul “ de Atjehers” yang berarti “orang-orang aceh”.
Alasan snouck Hurgronje memberi judul tersebut, karena pada masa penjajahan
Belanda, orang Aceh sangat berpegang teguh kepada hukum adat yang dimasukkan
dalam hukum adat. Sementara van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “ Het
Adatrecht Van Nederlandsche Indie” yang artinya hukum adat Hindia-Belanda.
Alasan Van Vollenhoven memberi judul tersebut karena ia menganggap masyarakat
Indonesia banyak yang menganut hukum Hindia-belanda, melalui buku ini Van
Vollenhoven dianggap sebagai bapak hukum adat oleh masyarakat Indonesia.
Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan
dengan warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan
emosional dan ideologis. Hukum adat berasal dari kata ‘hukum’ dan ‘adat’ . kata
hukum berasal dari kata bahasa arab huk’m
dan kata ’adat’ berasal dari kata adah. Oleh karena itu, pengertian hukum Adat menurut
Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan
legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang
berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan
bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Batasan bidang yang
menjadi objek kajian hukum Adat meliputi:
a) Hukum Negara,
b) Hukum Tata Usaha Negara,
c) Hukum Pidana,
d) Hukum Perdata, dan
e) Hukum Antar Bangsa Adat
Di masyarakat, wujud hukum adat , yaitu:
1. Hukum yang tidak
tertulis (jus non scriptum), merupakan
bagian yang terbesar,
2. Hukum yang tertulis
(jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara
tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian yang dibukukan.
2.2 SEJARAH HUKUM ADAT
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara
tentang sejarah hukum adat, yaitu:
A. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan
hukum adat itu sendiri. peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah
terdapat pada zaman pra hindu.
B. Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari
tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal
dalam dunia ilmu pengetahuan.
C. Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah
politik hukum di dalam system perundang-undangan di Indonesia pada periode ini.
Faktor yang mempengaruhi di samping faktor
astronomis–iklim–dan geografis–kondisi alam–serta watak bangsa yang
bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan
hukum adat adalah:
A. Magis
dan Animisme
alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup
animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. faktor
pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut:
1) pemujaan roh-roh leluhur,
2) percaya adanya roh-roh jahat dan baik,
3) takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh
kekuatan gaib, dan
4) dijumpainya orang orang yang oleh rakyat
dianggap dapat melakukan hubungan
dengan kekuatan-kekuatan gaib
B. Agama
1) Agama
Hindu. pengaruh terbesar agama ini terdapat di bali meskipun pengaruh dalam hukum adatnya
sedikit sekali.
2) Agama
Islam. pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan.
3) Agama
Kristen. hukum perkawinan kristen diresepsi dalam hukum adatnya.
C . kekuasaan yang lebih tinggi daripada
persekutuan hukum adat.
kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi
daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti
misalnya kekuasaan raja-raja, kepala kuria, nagari.
D. hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing
faktor ini sangat besar pengaruhnya. hukum adat
yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan
asing–kekuasaan penjajahan belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga
akhirnya praktis menjadi bidang perdata material saja.
2.3
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Peraturan adat istiadat kita ini merupakan adat-adat
melayu-polinesia yang sudah terdapat pada zaman pra-hindu. Lambat laun terjadi
akulturasi antara kultur hindu, islam dan Kristen yang kemudian mempengaruhi
kultur asli tersebut. Saat ini menurut kenyataan hukum adat yang hidup pada
rakyat adalah merupakan peraturan-peraturan adat-istiadat yang ada pada zaman
pra-hindu dan hasil akulturasi antar agama tersebut.
Setelah terjadi
akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut
Van Vaollenhoven terdiri dari :
Dari uraian bagan di atas dapat
di jelaskan bahwa hukum adat terdiri atas dua bagian yaitu :
a. hukum yang tidak tertulis (
jus non scriptum ) : merupakan bagian yang terbesar yang bersumber pada hukum
asli penduduk.
b. hukum yang di tulis ( jus
scriptum ) : merupakan bagian kecil saja yang bersumber dari ketentuan hukum
agama.
2.4
SEJARAH HUKUM ADAT MULAI DARI TIDAK DIKENAL SAMPAI DIKENAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari yang tidak dikenal hingga
dikenal dalam ilmu pengetahuan dapat di bagi atas empat periodesasi waktu di
antaranya adalah ;
a. Sebelum Zaman kompeni.
b. Pada zaman kompeni (1602-1800).
c. Pada zaman Daendels (1808- 1811).
d. Pada zaman Raffles (1811-1816).
Dalam empat tahapan waktu mengenai proses sejarah hukum adat
hingga sampai mulai dikenal dalam ilmu pengetahuan, pada mulanya melalui proses
yang panjang.
Pada zaman sebelum kompeni yaitu sebelum tahun 1602 bangsa asing
belum menaruh perhatian kepada hukum adat. Barulah pada zaman kompeni bangsa
asing mulai menaruh perhatian terhadap adat-istiadat kita baik atas inisiatif
sendiri maupun perintah tugas dari penguasa kolonial pada masa itu.
Barulah pada zaman kompeni tepatnya pada tahun 1602-1800 hukum
adat akan tetap dibiarkan dan tetap berlaku di masyarakat. Namun jika
kepentingan kompeni terganggu seperti dalam kepentingan badan perniagaan VOC
atau untuk keperluan tertentu, maka kompeni akan bertindak opportunitelt
terhadap hukum adat tersebut.
Sebelum datang VOC dan belum ada penelitian tentang hukum adat,
dan semasa VOC menggunakan politik oppurtinity nya, maka pejabat Belanda yang
mengurus Negara jajahan mengintruksikan kepada jendral pemimpin daerah jajahan
masing-masing untuk menerapkan hokum Belanda di Indonesia yaitu pada tnggal 1
Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada pemerintahan De Carventer yang telah
melekukakn penelitian dan menyimpulkan bahwa hukum adat Indonesia masih hidup.
Oleh
karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga
perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang
dengan kitab hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van
Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu
“COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck
mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum
untuk para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.
Jaman Daendels (1808-1811)
Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi
derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa
sehingga hukum eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
Jaman Raffles (1811-1816) Pada
zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu
panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di
masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk
pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini
yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu regulation for the
more effectual Administration of justice in the provincial court of Java yang
isinya :
a. Residen menjabat sekaligus
sebagai Kepala Hakim
b. Susunan pengadilan terdiri dari :
1) Residen’s court
2) Bupati’s court
3) Division court
c. Ada juga Circuit of court atau pengadilan
keliling
d. Yang berlaku adalah native law dan unchain
costum untuk Bupati’s court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum
Inggris.
2.5 SEJARAH POLITIK
HUKUM ADAT
Sejarah politik hukum adat dalam
perundang-undangan di indonesia terbagi dalam tiga periode yaitu ;
A. Masa menjelang tahun 1848.
B. Masa pada tahun 1848 dan seterusnya.
C. Sejak tahun 1927.
Untuk lebih jelasnya berdasar periodesasi di atas
maka akan diuraikan mengenai sejarah politik hukum adat di Indonesia sebagai
berikut.
A. Masa menjelang tahun 1848.
Pada masa kompeni hukum adat dibiarkan saja seperti
sediakala hidup berlaku untuk bangsa Indonesia.
Untuk pertama kali hukum adat mendapat sorotan pemerintah Belanda adalah
pada masa pengangkatan Hageman sebagai ketua mahkamah agung Belanda pada
tanggal 30 juli 1830.
Pada waktu itu Hageman melakukan pemeriksaan tugas
istimewa yang bertujuan agar di Indonesia bisa di lakukan persamaan hukum
dengan hukum eropa. Hageman beranggapan agar adanya kodifikasi hukum sipil yang
berbahasa Indonesia yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan eropa. Namun hal ini tak dapat terealisasikan karena
tempo penugasan telah selesai dan Hageman tak mampu menyelesaikannya.
Dengan segala usaha yang dilakukan pemerintah
Belanda untuk memberlakukan hukum Belanda di Indonesia yaitu melalui panitia
yang diketuai Scholten ( ketua mahkamah agung Hindia Belanda dahulu) ,
beranggapan bahwa Indonesia terhindar dari asas persamaan hukum pemerintah
belanda. Hal tersebut juga diperkuat oleh J. Van Der Vinne yaitu seorang ahli
jajahan Belanda yang beranggapan bahwa hukum Belanda tidak bisa diberlakukan di
Indonesia karena masyarakatnya pluralis. Sehingga jika tetap diberlakukan
menurut J. Van Der Vinne hal ini melanggar hak-hak adat istiadat dan akann
memecah banyak sendi-sendi hukum.
Kupasan Van der Vinne inilah yang dijadikan pedoman
pemerintah Belanda dan ikut mempengaruhi kedudukan hukum adat.
B. Masa Pada tahun 1848 dan Seterusnya.
Hukum adat menjadi masalah
politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum
eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia
Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah
masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi
tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai
dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.
Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah
colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda
di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka
secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun
kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia,
adalah sebagai berikut :
1.
Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk
menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum
kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
2.
Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda,
mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk
kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3.
Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki
diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah,
daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha
ini belum terlaksana.
4.
Kabinet Kuyper pada tahun 1904
mengusulkan suatu rencana undangundang untuk menggantikan hukum adat dengan
hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk
pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda
menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5.
Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda
dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata
bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan
usaha ini gagal.
6.
Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur
Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun
1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun
1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti
Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang
kesatuan itu tidak mungkin. Dalam
tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan
hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda
terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke
“kodifikasi”.
Hukum adat menjadi masalah
politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum
eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia
Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah
masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi
tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai
dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.
Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah
colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda
di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka
secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun
kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia,
adalah sebagai berikut :
7.
Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk
menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum
kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
8.
Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda,
mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk
kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
9.
Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki
diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah,
daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha
ini belum terlaksana.
10.
Kabinet Kuyper pada tahun 1904
mengusulkan suatu rencana undangundang untuk menggantikan hukum adat dengan
hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk
pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda
menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
11.
Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda
dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi
seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan
usaha ini gagal.
12.
Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur
Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun
1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun
1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti
Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang
kesatuan itu tidak mungkin. Dalam
tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan
hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda
terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke
“kodifikasi”.
C. Sejak tahun 1927.
Dalam tahun 1927 Pemerintahn
Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak
tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai
berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
BAB III
3.1 PENUTUP
KESIMPULAN
Sejak awal
manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal
ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru
oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai
kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Suatu hal yang rasional apabila
interaksi sosial mengambil peran yang penting dalam kelompok masyarakat.
Bahwasanya sejarah hukum adat itu
dapat dipisah-pisahkan dalam : Sejarah perkembangan hukum adat, sejarah
perkembangan hukum adat hingga dikenal dalam ilmu pengetahuan, dan sejarah
politik hukum adat dalam perundang-undangan di Indonesia. Ketiga hal tersebut
adalah proses sejarah hukum adat yang sangat penting bagi bangsa Indonesia
sebagai pemilik asli hukum adat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, hilman.
1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Mandar Maju.
Rato, dominikus. Pengantar
Hukum Adat. Laksbang.
Supomo. 1993.Bab-bab Tentang Hukum Adat.
Jakarta:Pradnya Pramita
Wignjodipuro,Surojo.
1984. Pengantar dan Asas – asas Hukum
Adat. Jakarta:Gunung Agung
__________.dan Badan
Pembinaan Hukum Nasional. 1976. Seminar
Hukum Adat Dan Pembinaan Hukum Nasional. Yogyakarta: Binacipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar